Gadis Pembasmi Siluman

Ilustrasi-Ani Wijaya Galeri

Namaku Andromeda, seorang gadis remaja biasa, sama seperti kalian. Memakai seragam sekolah putih abu, menggendong tas ransel sambil menggenggam ponsel. Namun bedanya, aku tak akan pernah lulus dari sekolah menengah atas.

Bayangkan saja, beberapa kali dalam setahun aku harus berganti sekolah. Sekaligus berganti identitas, termasuk warna dan model rambut. Jadi tak perlu bertanya, berapa umurku yang sebenarnya.

Sepertinya sudah lama sekali aku tertidur, tapi belum juga terdengar suara alarm. Ah, sial! pasti kesiangan. Dan ini bukanlah kebiasaanku saat hari pertama masuk sekolah. Titik koordinat lokasi sekolah baru sudah terkirim di ponsel. Satu sentuhan jari di layar, dan voila, tak sampai satu detik aku sudah tiba di gerbang sekolah.

Oh, tidak! Gerbangnya benar-benar sudah terkunci. Aku mencari-cari fitur di ponsel, mungkin saja ada aplikasi canggih untuk menembus dinding, misalnya.

"Anak baru, ya? Ayo, ikut aku memanjat tembok belakang!" Pemuda berwajah tampan dengan rambut gondrong hampir menyentuh bahu itu menarik tasku.

"Heh, aku gak bilang mau ikut!" Aku melotot, meskipun dia tampan tetapi aku tidak suka dengan sikapnya.

"Ya, sudah terserah!" Ia memutar tubuh dan meninggalkan aku sendirian. Tugas yang menanti membuat aku terpaksa membuntutinya dari belakang.

Tembok beton setinggi hampir tiga meter itu adalah benteng sekolah di bagian belakang. Tetapi lelaki di hadapanku ini, sama sekali tak kesulitan saat harus memanjatnya. Sementara aku memasang tampang melongo yang pasti sangat jelek.

Kami akhirnya dihukum berdiri di lapangan upacara. Baru diperbolehkan masuk kelas saat jam pelajaran ketiga. Sungguh memalukan. Berkali-kali dia mencoba mengajakku berbicara, tapi hanya kujawab dengan delikan mata dan wajah cemberut.

Satu-satunya bangku yang kosong adalah di bagian belakang. Tepat di sebelah orang yang sukses membuatku kesal hari ini, namanya Bima. Dia berkali-kali menguap sambil duduk menggelosor saat menatap papan tulis. Lebih tepatnya tertidur hampir sepanjang pelajaran. Bahkan saat bel istirahat terdengar, ia tak juga bangun.

Beberapa siswa mencoba bersikap ramah dengan mengajakku untuk ikut ke kantin. Namun aku tolak, memang sengaja tak mau lagi terlalu dekat dengan siapapun saat sedang melaksanakan tugas. Rasa sakit yang nanti tertinggal ketika terpaksa harus berpisah akan membuatku kehilangan fokus untuk melaksanakan tugas selanjutnya.

“Bimasakti! Maju,” nah, benar, kan Pak Wira mulai berteriak sambil melempar spidol, “Nomor lima!”

Bimasakti seketika maju ke depan sambil menggaruk kepala yang tadi terkena spidol. Bagiku apa yang dilakukannya adalah keajaiban. Dia tertidur sepanjang pelajaran tetapi mampu menyelesaikan soal dengan baik dan cepat. Membuat raut masam tergambar di wajah Pak Wira.

Ternyata Bimasakti termasuk siswa yang pandai, beberapa kali ia bertahan di peringkat kelas tertinggi. Wali kelasku menyarankan agar aku belajar bersama Bima demi mengatasi kesulitan memahami pelajaran yang tertinggal. Sebenarnya itu adalah hal yang tidak penting, toh, aku di sini tidak sampai mengikuti ujian. Beberapa hari lagi saat tugasku melenyapkan siluman harimau selesai aku akan lekas pergi.

Namun, didorong rasa penasaran dengan kehidupan Bima, maka aku menyetujui saran tersebut. Dan Bimasakti bersedia menjadi partner belajar. Asalkan aku mau memberinya sejumlah uang. Bima memiliki tiga adik yang masih kecil dan semuanya sekolah. Ibunya hanya asisten rumah tangga dengan penghasilan tak seberapa. Ayah mereka telah tiada, begitu jawab Bima saat aku menanyakan.

Informasi tentang wujud manusia siluman harimau yang terhambat membuatku menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah ini. Bisa disebut ini adalah tugas terlama yang aku selesaikan. Mungkin karena bangsa siluman sudah mulai mengalami kemajuan. Terutama dalam hal penyamaran. Aku harus bersabar, meskipun ingin menyelesaikan tugas terakhir ini secepatnya.

Iya, begitu janji Abah Surya. Beliau adalah kakekku, ketua Agensi Pembasmi Siluman. Dan aku memiliki kemampuan melenyapkan siluman karena faktor keturunan. Jangan dikira aku melakukannya dengan senang hati. Tanpa beban apapun. Tak jarang kala mata kami bertatapan sesaat sebelum aku melenyapkannya, rasa nyeri melesak jauh ke dalam hati.

Setiap malam kulalui dalam gelisah, gangguan mimpi buruk dan teriakan-teriakan yang tak berhenti bergema di telinga. Maka saat diberitahu bahwa ini adalah tugas terakhir, sungguh aku senang sekali. Aku akan menjalani kehidupan normal, sebagai gadis yang benar-benar biasa. Mungkin kedepannya aku akan mempertimbangkan keputusan untuk menikah dan memiliki banyak anak.

“Bersiaplah! Besok saat di sekolah foto siluman harimau yang harus kamu lenyapkan akan dikirimkan,” Abah Surya memberikan perintah.

Seperti biasa detak jantungku mulai berlompatan tak karuan. Perut melilit-lilit, sekujur tubuh merinding. Bukan karena ketakutan saat melihat penampakan asli siluman itu sesaat sebelum lenyap. Tetapi lebih pada merasa keji karena telah memutus rantai kehidupan mereka.

Seekor siluman ular pernah mengatakan padaku sebelum. Bahwa seperti layaknya manusia, mereka masih diberikan pilihan untuk berbuat baik atau jahat. Berbeda dengan bangsa iblis. Namun, tugasku hanya sebatas mengikuti perintah. Bagaimanapun salah adalah salah. Bagi organisasi kami, siluman yang menyusup ke dunia manusia adalah salah. Harus dimusnahkan. Sama seperti tikus-tikus yang menjadi hama di sawah para petani.

Baterai ponsel dengan fitur khusus pelacak lokasi siluman sudah terisi penuh. Senjata berbentuk kujang yang tersimpan di balik jam tangan, sudah aku siapkan. Kujang laser ini memiliki pancaran sejenis sinar gamma yang akan memusnahkan siluman dalam sekali tusuk. Musnah artinya benar-benar menghilang tanpa jejak. Aku hanya tinggal menunggu kiriman foto dari Abah Surya.

“Dari tadi melototin hp terus nunggu apa sih?” Bima mengintip, tangannya hampir menyambar ponsel dalam genggamanku, ”An, ibu bilang hari ini masak nasi liwet kesukaan kita. Biar semangat belajarnya, katanya.”

“Wah, asiiik ….” aku tak melepaskan tatapan dari layar ponsel. Sinyal di sekolah memang sering terganggu, untuk mengunduh satu foto saja membutuhkan waktu selama ini.

Bimasakti mengerucutkan bibir. Ia tidak suka kalau saat bicara, mata dan pikiranku fokus pada hal lain. Kemudian membelakangi aku, sambil melangkahkan kaki keluar kelas.

Pemberitahuan di ponsel menyala, pertanda proses unduh selesai. Sambil menerka-nerka aku membuka layar perlahan. Kira-kira siapa siluman harimau yang menjadi target laser kujangku. Sungguh kejutan yang membuatku terhenyak seketika.

Ini, kan. Foto Bimasakti.

[Awg]